Sayap yang Ternoda Minyak : Kisah Camar, Kucing, dan Perlawanan terhadap Alam yang Rusak

Table of Contents
Resensi Buku Luis Sepulveda Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Resensi Buku Luis Sepulveda Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang

Resensi Buku: "Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang"

Penulis: Luis Sepúlveda

Terbit pertama kali di Spanyol dengan judul Historia de una gaviota y del gato que le enseñó a volar

Editor: Tusquets Editores, Barcelona

Diterjemahkan oleh: Ronny Agustinus

Edisi pertama: Oktober 2020

Tebal: 90 halaman

ISBN: 978-602-078806-7

Desain Sampul: Tinta Creative Production

Penerbit: Marjin Kiri


Luis Sepúlveda, penulis asal Chile yang dikenal akan kecintaannya pada lingkungan dan cerita-cerita tentang alam, hadir dengan karya berjudul Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang. Buku ini menggabungkan elemen petualangan yang menyentuh dengan kritik sosial yang tajam tentang kerusakan alam, terutama laut.

Luis Sepúlveda begitu mencintai lingkungan dan anak-anak. Di halaman awal novel ini, ia dengan tulus menyebut nama ketiga anaknya, sebagai wujud cintanya yang mendalam.

Sepúlveda membuktikan cintanya dengan menulis novel yang imajinatif, dan kritis terhadap lingkungan. Novel ini ditujukan untuk anak-anak, namun pesan-pesan di dalamnya juga bisa diterima oleh segala usia. Dengan gaya khas seorang pendongeng, ia mengajak pembaca untuk memasuki dunia yang penuh warna dan makna.

Dalam cerita ini, Anda akan dibawa ke Hamburg, bertemu dengan Kengah, seekor burung camar betina berwarna perak yang riang namun juga resah. Kengah melihat dengan mata kepala sendiri tumpahan minyak bumi dan tumpukan sampah yang mencemari Laut Sungai Elbe. 

Kengah, burung camar betina berwarna perak, menyaksikan kebodohan umat manusia dari ketinggian. Dengan pandangannya yang tajam, ia melihat dunia yang semakin tercemar, kebodohan yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha nyata untuk mengubahnya. 

Dari angkasa, ia merasa tak berdaya, namun juga penuh kecemasan.

Di sisi lain, ada Zorbas, seekor kucing hitam gemuk yang teduh. Zorbas adalah sosok yang penuh tanggung jawab, meski pada janji yang hampir tak mungkin ditepati. Ia menggambarkan ketenangan dalam menghadapi dunia yang penuh kekacauan.

Di awal novel, Anda akan diajak berkenalan dengan Kengah, seekor burung camar betina berwarna perak yang sedang berimigrasi dengan riang, menghirup udara segar kebebasan. Di sampingnya, ada Zorbas, seekor kucing hitam gemuk besar yang senang dan teduh, selalu tampil dengan sikap tenang.

Kengah dan rombongan mercusuar pasir merah sedang mengangkasa di atas mulut Sungai Elbe, terbang bebas menikmati pemandangan laut yang tak terbatas. Mereka memandangi kapal-kapal yang berlayar dengan bendera-bendera mereka, yang tampak seperti hewan-hewan air, berbaris sabar dan rapi, menunggu giliran untuk keluar laut.

Kengah, dengan pengamatannya yang tajam, tahu bahwa setiap bendera mewakili cara bicara yang berbeda, cara menamai hal-hal yang sama dengan perkataan yang berbeda. 

Susah ya jadi manusia. Kalau burung camar, kwok-nya kan sama saja di seluruh dunia.

Sebuah pemikiran sederhana yang menggambarkan perbedaan dan kebingungan yang seringkali datang dengan cara komunikasi manusia, yang penuh makna dan interpretasi.

Selepas garis pantai, mengikuti perintah camar-camar pilot, rombongan mercusuar pasir merah mencebur ke arah kawanan ikan haring yang berenang di kedalaman. Mereka terjun dengan lincah, menyelam dalam gerakan yang serentak dan terkoordinasi, menciptakan gelombang kecil di air.

Ketika mereka muncul kembali ke permukaan, masing-masing sudah mengapit seekor ikan haring di paruh mereka, hasil tangkapan yang lezat. Di udara, mereka berbincang riang, seakan saling bercerita tentang pertemuan mereka dengan rombongan camar-camar lain. Tawa mereka terdengar melantun dalam kebebasan yang tak terbatas.

baca juga : resensi buku gie, dan surat-surat tersembunyi

Di atas langit Biscay, langit yang luas dan biru, rapat akbar camar-camar dari Laut Baltik, Utara, dan Atlantik bisa dimulai. Sebuah pertemuan besar, penuh dengan kebersamaan dan semangat hidup yang mengalir bebas, seakan tak ada yang bisa menghalangi mereka untuk terbang dan menikmati dunia dengan cara mereka sendiri.               

Khayal Kengah melayang, sembari menelan ikan haringnya yang ketiga. Rasanya begitu nikmat, seolah dunia ini miliknya, penuh dengan kebebasan dan kelezatan yang tak terbatas. Saat hendak mencelupkan paruhnya untuk mencari ikan yang keempat, Kengah terlena, terhanyut dalam lamunannya.

Namun, kebebasannya itu berbuah kelalaian. Tanpa disadari, saat ia menegadahkan kepala untuk kembali ke permukaan, ia mendapati dirinya sendirian di tengah samudera yang luas. Tak ada lagi rombongan camar-camar mercusuar pasir merah yang terbang di sekitarnya. 

Hanya ada laut yang membentang tanpa ujung, menyisakan rasa hampa dan kebingungan yang mendalam. Dunia yang semula riang kini terasa sepi, dan Kengah mulai merasakan kesepian yang mencekam di tengah kebesaran samudera.

Ombak hitam pekat yang berisi tumpahan minyak bumi menghalangi pandangan Kengah. Kegelapan itu merangkulnya dengan erat, membuat sayap-sayap cantiknya tak bisa mengepak, terjebak dalam kekuatan alam yang dipenuhi keputusasaan. 

baca juga : resensi buku long walk nelson mandela

Gumpalan hitam berlendir itu menempel di bulu-bulunya, membuat sayapnya lengket dan setiap ototnya terasa pegal, terpaksa berusaha keras hanya untuk bergerak sedikit.

Seekor camar yang lemah, sendirian di tengah samudera yang luas, menjadi sasaran empuk bagi ikan-ikan besar. Atau, ia akan mati perlahan, terperangkap dalam racun yang meresap melalui bulu dan menyumbat pori-porinya, terbunuh dengan cara yang tak terlihat. 

Noda hitam, sampar hitam semuanya adalah hasil dari kebodohan manusia. Kengah mengutuk dengan amarah yang membara!

Kengah lemah dan terhimpit, Ia tak menyerah. Ia memaksakan diri, berjuang untuk terbang meskipun sangat berat. Dengan susah payah, Kengah akhirnya sampai di Hamburg, tubuhnya yang kelelahan tak mampu bertahan lagi. Ia jatuh, terhuyung-huyung dan akhirnya mendarat di sebuah balkon, seperti takdir yang tak bisa ditolak.

Di sebuah balkon yang teduh, Zorbas, seekor kucing hitam gemuk besar, sedang menikmati sinar matahari pagi dengan santai. Tubuhnya yang gemuk terbaring nyaman di bawah cahaya hangat, matanya setengah terpejam, merasakan kedamaian yang hanya bisa dinikmati oleh makhluk yang tahu bagaimana cara bersantai.

Tiba-tiba, dengan bunyi yang terdengar lembut namun memukul, seekor camar jatuh tepat di sampingnya. Tubuhnya kotor dan bau, berlapis cairan gelap dan lengket yang mengotori bulu-bulunya. Terganggu oleh kehadiran yang tiba-tiba itu, Zorbas membuka matanya dan memandang dengan tatapan campur aduk antara rasa penasaran dan sedikit jijik. 

Camar itu tergeletak lemah, tubuhnya penuh noda, bukti dari kebodohan manusia yang telah merusak dunia sekitarnya. Zorbas mengamati, namun tak bergerak. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti sejenak, memperlihatkan kontras antara kehidupan yang tenang dan damai dengan kehancuran yang datang begitu tiba-tiba.

Camar yang menderita dan payah itu meminta hal yang tak mungkin. Ia meminta zorbas, seekor kucing untuk mengajari anaknya terbang. Zorbas menyanggupi dengan penuh rasa khawatir, takut tak mampu memikul tanggung jawab. Mengajari burung terbang.

Namun, Zorbas adalah kucing yang pantang menyerah. Dengan tekad yang teguh, ia berjanji kepada camar yang malang itu, untuk menjaga dan mengajari anak-anak camar terbang dengan penuh kasih sayang dan perhatian. 

Janji itu membara dalam dirinya, seolah memberi arah baru pada hidupnya yang damai di pelabuhan. Dari sini, petualangan Zorbas dimulai petualangan yang mengarahkannya pada pemahaman yang lebih dalam tentang dunia burung, tentang bagaimana mereka terbang dengan bebas di langit yang luas, dan bagaimana manusia telah merusak segala yang ada di bawahnya.

Zorbas bertemu dengan Profesor, seekor kucing bijaksana yang tahu segala hal. Dengan penuh rasa ingin tahu, Zorbas belajar banyak tentang perilaku burung, terutama tentang camar, dan bagaimana mereka membangun hidup mereka di tengah samudera yang penuh tantangan. 

Pembelajaran ini membuka matanya lebih lebar, membawanya untuk memahami bagaimana dunia yang tampaknya damai bisa hancur dalam sekejap karena kelalaian manusia.

Perjalanan Zorbas tidak hanya tentang pengetahuan. Ia juga mulai membangun solidaritas antar sesama kucing pelabuhan sebuah komunitas yang saling mendukung di tengah kerasnya hidup di pelabuhan. Mereka saling berbagi, saling membantu, dan bersama-sama berjuang untuk bertahan hidup di dunia yang semakin keras ini.

Pelajaran paling penting, melalui petualangan Zorbas, pembaca seolah diajak untuk merasakan apa yang dirasakan oleh para makhluk yang terabaikan, yang menjadi korban kebodohan manusia. 

Seperti Zorbas yang penuh perhatian, pembaca dibawa untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda perspektif hewan yang mengenal kelalaian manusia, menciptakan kesadaran akan betapa pentingnya menjaga dan merawat lingkungan serta semua makhluk hidup di dalamnya.

Buku ini terbilang ringan dalam penyajian, namun serius dalam bobotnya. Sepúlveda berhasil menyampaikan pesan yang kuat tanpa mengorbankan keindahan cerita. Pembaca diajak untuk melihat dunia dari perspektif yang jarang, yakni mata hewan yang menjadi korban kebodohan manusia. 

Novel ini menggugah sekaligus menggugat mengajak kita untuk merenung tentang tanggung jawab kita terhadap bumi dan sesama makhluk hidup.

Dalam 90 halaman yang padat, Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga alam, berkomitmen terhadap janji yang tak mungkin, dan bagaimana saling mendukung antar makhluk hidup adalah langkah kecil menuju perubahan besar.

Buku ini akan menghibur sekaligus memberikan pencerahan kepada para pembaca, baik yang muda maupun yang sudah dewasa, tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Camar mungkin hanya seekor burung, dan kucing hanyalah hewan rumahan. Tapi dari mereka, kita belajar arti keberanian melawan kerusakan. Tetap setia mampir di bara aksara ini, tempat di mana kisah sederhana bisa mengajarkan makna yang besar.

Posting Komentar