Basunnat, Kesadaran Perlawanan.
![]() |
Resensi buku Terbaru Nelson Mandela |
Penulis : Paharizal, S.sos., M.A.
Penerbit : Yogyakarta : Narasi., 2013
Deskripsi Fisik : 120 hlm.: 26 cm
Bahasa : Bahasa Indonesia
ISBN/ISSN : 9789791683463
Seorang anak berusia tujuh tahun, yang baru saja dibaptis dan namanya diganti menjadi Nelson, adalah sosok yang penuh tekad dalam menimba ilmu pengetahuan. Semangatnya yang membara mengubah segala keterbatasan menjadi peluang, memanfaatkan setiap detik untuk belajar dengan sepenuh hati.
Nelson dikenal sebagai anak yang taat beragama, dan pelajaran sejarah adalah dunia yang begitu ia nikmati, terutama sejarah Afrika Selatan. Dalam pencariannya terhadap jejak masa lalu, ia menemukan keterbelakangan yang menimpa Afrika Selatan serta kemajuan yang dibawa oleh kekuatan kolonial Eropa.
Seorang pemuda yang mungkin, belum pernah merasakan cinta dalam arti yang sesungguhnya ini, mengagumi sosok kolonialis berkulit putih, tinggi, dengan mata biru yang tajam. Baginya, para kolonialis adalah pahlawan pembawa peradaban dan kemajuan bagi bangsanya yang tertinggal.
Nelson muda, dalam kebutaannya, terpesona dan tunduk pada pandangan yang belum jernih tentang sejarah. Ia termakan oleh propaganda yang mengklaim bahwa kolonialisasi adalah misi untuk memajukan dan mengadabkan bangsa yang "tertinggal".
Sebuah narasi yang, meski indah di permukaan, meninggalkan jejak penderitaan yang mendalam mengorbankan buruh yang bekerja tanpa henti dan tanah yang dirampas tanpa ampun. Hingga usianya menginjak 16 tahun, Nelson tetap berada dalam kegelapan.
Pada usia yang seharusnya penuh kedamaian dan kebebasan, ia harus menjalani ritual sunnat. Sebuah ritus pendewasaan yang harus dilalui untuk diterima dalam masyarakat, untuk diakui sebagai seorang dewasa yang kini memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya.
Di sebuah tempat yang sunyi, dekat dengan sungai yang berbisik lirih dan semak-semak yang menari tertiup angin, Nelson menjalani ritual tersebut. Di sana, di antara kedamaian alam yang mengelilinginya, ia berubah. Dari seorang anak yang naif, ia kini melangkah ke dunia remaja, disambut oleh masyarakat yang kini melihatnya sebagai pria.
Dengan hati yang ceria dan penuh kebanggaan, Nelson siap untuk kembali ke dunia yang lebih luas, membawa serta identitas barunya sebagai seorang pria yang telah melalui proses pendewasaan.
Ritual pendewasaan itu diakhiri sebuah pidato perpisahan dari kepala suku yang mengguncang kesadaran dan mengguratkan luka dalam batin Nelson yang baru saja disunnat. Kepala suku berdiri, suaranya berat dan penuh makna, ketika ia berkata,
Di sana duduk putra-putra kita, muda, sehat, dan tampan kembang dari suku Xhosa, kebanggaan bangsa kita. Baru saja kita menjalani ritual sunat, yang katanya menjanjikan kehidupan seorang laki-laki.
Tapi janji itu kosong dan menipu. Sebab kita, orang-orang Xhosa, dan seluruh bangsa kulit hitam di Afrika Selatan, adalah kaum yang ditaklukkan.
Kita adalah budak di tanah air kita sendiri. Kita hanya penyewa di bumi yang seharusnya menjadi milik kita. Kita tidak memiliki kekuasaan, kekuatan, atau kendali atas nasib kita sendiri di tanah kelahiran yang kita cintai.
Anak-anak muda itu mereka yang telah menjalani ritus ini akan pergi ke kota-kota besar. Di sana, mereka akan hidup di gubuk-gubuk kumuh, tenggelam dalam kehidupan penuh keputusasaan, menenggak alkohol murahan sebagai pelarian dari kenyataan.
Kata-kata itu menggema di dalam diri Nelson, membangkitkan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya kesadaran tentang ketidakadilan yang selama ini terlewatkan.
Kita tidak memiliki tanah yang bisa kita berikan kepada mereka, tempat mereka dapat hidup makmur dan berkembang biak. Tanpa tanah, mereka tak akan pernah bisa menciptakan kehidupan yang sejahtera.
Mereka akan batuk, memuntahkan isi paru-paru mereka ke dalam tambang-tambang milik orang-orang kulit putih, sementara orang-orang berkulit putih itu terus hidup dalam kemakmuran yang tak terhingga, tanpa peduli akan penderitaan yang kita derita.
Kata-kata itu menembus hati Mandela, menumbuhkan pemahaman yang dalam tentang ketidaksetaraan dan kesenjangan yang dirasakan oleh bangsanya.
baca juga : resensi buku soe hok gie
Semburan pidato kepala suku yang bagaikan gempa mengguncang kesadaran Nelson Mandela. Seperti bangunan sejarah yang runtuh berkeping-keping, segala yang telah ia pelajari tentang masa lalu tiba-tiba terasa rapuh. Anak yang baru saja disunnat itu kini terperangkap dalam pertempuran batin yang hebat.
Antara keyakinan yang telah tertanam dalam dirinya dan kenyataan yang baru digambarkan oleh kepala suku, Mandela tertegun. Ia merenung dalam kebingungan, tak percaya pada kata-kata yang baru saja ia dengar, mempertanyakan segala yang selama ini diyakininya. Batinnya menggugat dengan keras, seperti bara api yang menyala dalam dirinya. Perkataan kepala suku itu telah menjadi api perlawanan yang membakar dalam diri Nelson Mandela.
Pada perjalanan berikutnya, ia tak lagi bisa menutup mata dari kenyataan. Dengan keteguhan yang semakin menguat, ia mengakui kesalahan dalam pemahamannya tentang kolonialis Eropa. Kolonialis Eropa, yang selama ini ia anggap sebagai penolong, ternyata hanyalah bangsa-bangsa yang kelaparan di tanah mereka sendiri, mencari makan di tanah Afrika Selatan dengan cara yang tak manusiawi.
Nelson akhirnya bangkit berperang, melawan segala penindasan yang telah menginjak martabat bangsanya, dan ia menang. Sebuah kemenangan yang tak hanya diraih dengan tangan, tetapi dengan jiwa yang teguh dan prinsip yang tak tergoyahkan.
Posting Komentar