Corona, Isaac Newton : Cahaya dalam Kegelapan Wabah
Musim yang menyeramkan dan mematikan melanda London pada tahun 1665, saat musim panas datang dengan segala kemewahannya. Bagi sebagian orang Eropa, musim itu adalah waktu untuk berjemur di bawah sinar matahari, menikmati air lemon yang segar, atau sekadar bersantai, berbahagia, bahkan bercinta dalam kedamaian musim panas yang seolah tak berujung.
Namun, keindahan musim itu tak bertahan lama. Ketakutan menyebar ke seluruh penjuru kota, menggantikan keceriaan yang dulu ada. Puluhan ribu warga London mati dengan cara yang mengenaskan, kulit mereka menghitam dan melepuh, seolah tubuh mereka menjadi api yang membakar sendiri. Semua itu dimulai dengan demam yang datang tanpa ampun.
Warga pun kebingungan, mencari-cari penyebab penyakit mematikan ini. Pada masa itu, Google belum ada untuk memberikan jawaban instan, dan informasi sulit didapatkan. Ketidakpastian menggantung di udara, semakin menambah kecemasan yang menyelimuti kota.
Kesunyian dan kecemasan menguasai London, sementara wabah itu terus menyebar, tak mengenal ampun. Mistik pun berkembang pesat di kalangan warga London, yang dengan cepat mengaitkan fenomena mematikan ini dengan berbagai peristiwa tak masuk akal.
Mereka mencurigai bahwa wabah ini merupakan akibat dari perang sipil yang terjadi antara tahun 1642 hingga 1651, atau mungkin sebuah petanda dari melintasnya komet di bawah langit London pada Desember 1664 dua peristiwa yang sama sekali tak berkaitan, bahkan bisa dibilang konyol jika ditelaah lebih dalam.
Kekonyolan itu terus berlanjut, karena ternyata warga tidak menyadari bahwa kengerian yang mereka alami adalah akibat ulah mereka sendiri. Persoalan utamanya terletak pada fasilitas sanitasi yang sangat buruk, yang menjadi sarang bagi tikus-tikus got.
Tikus-tikus ini berkembang biak, berkeliaran, dan membawa kutu yang menjadi pembawa bakteri Yersinia pestis. Gigitan kutu itulah yang menyebabkan pes bubo, atau sampar, menjadi wabah mematikan yang merenggut begitu banyak nyawa. Bukan komet yang harus disalahkan, melainkan kebersihan yang diabaikan.
Sebuah pelajaran pahit, bahwa kadang kita mencari alasan di luar diri kita, padahal akar masalahnya ada di dalam kehidupan sehari-hari yang kita anggap remeh
Barangkali kekonyolan ini terjadi karena Raja Charles II, para pegawai istana, dokter, pengacara, pedagang, dan kaum pemodal lainnya memilih melarikan diri ke Oxford, meninggalkan kota yang tengah dilanda wabah tanpa memberikan penjelasan apapun. Mereka menghilang dalam kebingungan, sementara penduduk miskin tetap terperangkap di rumah-rumah mereka, terpaksa menderita dalam diam.
Mereka menyaksikan maut datang mendekat tanpa bisa berbuat apa-apa, seolah terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang tak ada akhirnya. Inilah kenyataan pahit yang terjadi ketika sang raja tidak tahu harus berbuat apa di tengah bencana yang menimpa. Ketidakberdayaan ini mengukir luka dalam jiwa warga miskin hanya bisa pasrah, menyerahkan nasib mereka pada takdir yang tampak begitu kejam. Payah dan kalah menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan.
Sejarah mencatat, bahwa kadang-kadang, ketika pemimpin menghilang, yang tertinggal hanya penderitaan dan keputusasaan di antara mereka yang tidak memiliki pilihan lain selain menerima segala kesulitan dengan pasrah.
Tak Terkecuali sir Isaac Newton, yang saat itu berkuliah di Trinity College, masih muda, usianya belum menginjak 30 tahun. Ketika wabah melanda, Universitas Cambridge menginstruksikan agar seluruh mahasiswanya belajar dari rumah tanpa fasilitas online yang kita kenal sekarang.
Dalam keterasingannya, di tengah sepi dan keterbatasan, Newton, seorang jenius yang kelak akan dikenang sepanjang sejarah peradaban manusia, justru menemukan berbagai penemuan luar biasa.
Terjebak dalam ruang sempit kamar yang menjadi dunia kecilnya, Newton menemukan kalkulus, sebuah alat pemikir untuk memecahkan masalah matematika yang rumit. Ia merumuskan hukum gerak, yang akan menjadi dasar ilmu fisika modern. Ia menyelidiki cahaya dan optik, hingga akhirnya menemukan konsep gravitasi.
Hanya gravitasi yang ia temukan di depan rumah, tepat di bawah pohon apel. Barangkali, setelah berhari-hari terkurung dalam pikirannya yang tak kunjung menemukan jawaban, Newton merasa jenuh dan memutuskan untuk berteduh di bawah pohon apel itu.
Dalam keheningan yang membalut dirinya, sebuah apel jatuh, menimpa tanah di hadapannya. Sebuah peristiwa sederhana yang tak terduga, namun begitu dalam maknanya. Ia merenung, dan dalam momen itu, teori gravitasi muncul, seolah alam semesta sendiri memberi jawabannya.
meskipun penemuan besar ini datang dalam ketenangan, Newton tak langsung membagikannya kepada dunia. Barangkali ia merasa ragu, atau malu hati dengan penemuan yang begitu besar, sebuah teori yang bisa mengubah pemahaman manusia tentang alam semesta.
Baru dua puluh tahun kemudian, ia memutuskan untuk mengungkapkan temuannya melalui risalah berjudul Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, sebuah karya yang akan mengukir namanya dalam sejarah abadi.
Dalam keterasingannya, ia menemukan semesta. Sebuah ironi, bahwa dalam kesendirian dan keterbatasan, muncul pemahaman yang tak terbayangkan sebelumnya. Newton membuktikan bahwa dalam kesulitan pun, ada potensi tak terbatas bagi mereka yang terus berpikir dan bertanya.
Newton berhasil menemukan begitu banyak hal dalam keheningan dan keterasingannya. Tak semua korban wabah sampar yang melanda adalah jenius. Banyak di antara mereka adalah orang-orang miskin dan papah, yang hidup mereka terlunta-lunta dalam kekurangan.
Mereka mati dalam kondisi yang jauh dari manusiawi bukan karena kekurangan pengetahuan, tetapi karena nasib yang tak berpihak. Wajah mereka menjadi bayangan kesedihan, hilang dalam kelamnya penderitaan yang tak pernah berakhir.
Tak semua orang merasa nyaman seharian terkurung di kamar, bergelut dengan buku dan pengamatan, sebagaimana yang dilakukan oleh Newton. Bagi tukang ojek, ibu-ibu di pasar, atlet, atau mas pentolan, mereka tak mungkin bekerja dari rumah. Bukan teori-teori besar yang mereka dapatkan dalam kesendirian, melainkan omelan anak-istri dan kekalutan yang tak henti-hentinya.
Rakyat tak butuh pencerahan abstrak yang datang dari sang tuan nun jauh di istana. Yang mereka inginkan hanyalah kejelasan sebuah pemahaman tentang keadaan yang nyata dan bisa mereka hadapi.
Bukan kekonyolan atau kata-kata kosong yang tak memberi arah. Mereka hanya ingin tahu bagaimana bertahan hidup dalam dunia yang semakin sulit ini.
ksastria istana seolah-olah memberi pencerahan, namun hasilnya entah di mana. Sejauh ini, yang tersisa hanya kekhawatiran yang menggelayuti dan ketakutan yang tak kunjung reda. Janji-janji itu bagaikan kabut yang tak bisa disentuh, hilang begitu saja.
Mungkin, saatnya sang raja mempertimbangkan sebuah pilihan lain untuk lari, atau lebih bijak lagi, untuk turun dari takhta dan mendengarkan dengan hati yang terbuka.
Karena dalam keterasingannya, kadang sang raja lupa bahwa yang dibutuhkan bukan hanya keputusan, melainkan kebijakan yang tepat sasaran bagi mereka yang menderita.
Maka, dalam kesunyian yang dipaksakan oleh wabah, Newton tidak hanya menemukan gravitasi; ia justru melompat melampaui gravitasional pull keputusasaan zamannya. Ia mengajarkan pada kita bahwa masa karantina bukanlah interupsi dalam narasi hidup, melainkan sebuah interlude.
kesempatan langka untuk membongkar arketipe pemikiran, merenda teori baru, dan pada akhirnya, melahirkan cahaya-cahaya intelektual yang akan menerangi peradaban jauh setelah wabah itu sendiri redup dan menjadi footnotes dalam sejarah. Pandemi ini adalah our very own plague year
pertanyaannya, benih cahaya apa yang akan kita tumbuhkan dalam isolasi kita hari ini untuk dituai oleh generasi mendatang?”
“Mari jadikan ruang isolasi kita sebagai laboratorium ide, dan setiap keheningan sebagai kanvas untuk melukis masa depan. Bagikan pemikiran dan terobosan apa yang lahir dari ‘tahun wabah’ Anda. karena dalam setiap kegelapan, selalu ada pilihan, mengutuknya atau, seperti Newton, menemukan cahaya.”
Posting Komentar